Saat menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar bersama 10 orang lainnya dijadikan tersangka dan  dijebloskan ke rumah tahanan (rutan) Polda Metro Jaya, atas tuduhan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 14 Maret 2009 silam. Kemudian pengadilan negeri Jakarta Selatan menyatakan Antasari Azhar terbukti bersalah dan divonis 18 tahun penjara. 

Koreksi dan perlawanan Antasari Azhar terhadap putusan hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan, lewat upaya  hukum banding,kasasi hingga peninjauan kembali kandas. Artinya, putusan terhadap Antasari sudah memiliki kekuatan hukum tetap, dan  tidak lagi ada ruang yang dapat dilakukan untuk meninjau atau koreksi terhadap putusan tersebut.

Kemudian Antasari mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden dan dikabulkan sehingga Antasari Azhar dibebaskan alias tidak lagi menjalani hukuman 18 tahun penjara. Meskipun, permohonan Grasi Antasari disampaikan setelah tiga tahun ditetapkan sebagai terpidana. Padahal, UU No 5 tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan pengajuan grasi paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

terungkapnya keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen adalah bagian dari proses penyelidikan dan penyidikan. Mencuatnya nama Antasari Azhar bermula dari pengakuan para tersangka lainnya yang dikuatkan dengan bukti-bukti yang diperoleh penyidik Polri saat itu. Seperti pertemuan Antasari di rumah salah seorang tersangka saat menyerahkan foto calon korban yang dijadikan target pembunuhan. Adanya penyerahan dana untuk membayar eksekutor dan pembelian senjata api.  Bahkan,seorang penyidik mengatakan, kasus pembunuhan itu dipicu setelah Antasari mengeluh dirinya merasa terancam yang disampaikan kepada salah seorang tersangka. Intinya, pembunuhan  tidak akan terjadi, jika Antasari melarang rencana pembunuhan tersebut. Artinya, Antasari sudah mengetahui adanya rencana pembunuhan yang akan dilakukan.



Sejatinya, pemberian Grasi jangan dikemas menjadi informasi yang menyesatkan dengan menyembunyikan maksud dan tujuan serta alasan sesungguhnya pemberian Grasi oleh Presiden kepada Antasari. Agar tidak menimbulkan persepsi bahwa  pengampunan yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Antasari Azhar, dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan koreksi terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan

Grasi adalah kewenangan yang menjadi hak prerogatif  Presiden atau Kepala Negara untuk memberikan pengampunan berupa pengurangan bahkan membebaskan hukuman seseorang yang sudah berkekuatan hukum tetap.  Proses pemberian grasi adalah atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan keadilan,tanpa adanya keterikatan dengan hukum acara tertentu.

Meskipun pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, bahkan menghapuskan hukuman tanpa putusan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan atau menjadi bentuk rehabilitasi seorang terpidana. Karena Grasi adalah permohonan pengampunan yang diajukan seseorang yang telah mengakui kesalahannya. Pemberian Grasi yang menjadi hak prerogatif Presiden atau kepala Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU No 5 tahun 2010.  

Grasi atau pengampunan bukan produk hukum yang terkait dengan persoalan teknis yuridis peradilan.Sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai putusan hakim atau dasar untuk melakukan koreksi terhadap proses penegakan hukum maupun putusan yang sudah dijatuhkan pengadilan. 

Sedangkan upaya untuk melakukan koreksi terhadap proses penegakan hukum hingga peradilan diatur dalam UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara, dalam KUHAP tidak ditemukan adanya keterlibatan dan kewenangan Presiden atau Kepala Negara dalam proses penegakan hukum maupun peradilan. KUHAP menjelaskan hak untuk melakukan koreksi adalah praperadilan,banding,kasasi hingga peninjauan kembali (PK). 

GRASI ANTASARI AZHAR



Saat menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar bersama 10 orang lainnya dijadikan tersangka dan  dijebloskan ke rumah tahanan (rutan) Polda Metro Jaya, atas tuduhan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 14 Maret 2009 silam. Kemudian pengadilan negeri Jakarta Selatan menyatakan Antasari Azhar terbukti bersalah dan divonis 18 tahun penjara. 

Koreksi dan perlawanan Antasari Azhar terhadap putusan hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan, lewat upaya  hukum banding,kasasi hingga peninjauan kembali kandas. Artinya, putusan terhadap Antasari sudah memiliki kekuatan hukum tetap, dan  tidak lagi ada ruang yang dapat dilakukan untuk meninjau atau koreksi terhadap putusan tersebut.

Kemudian Antasari mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden dan dikabulkan sehingga Antasari Azhar dibebaskan alias tidak lagi menjalani hukuman 18 tahun penjara. Meskipun, permohonan Grasi Antasari disampaikan setelah tiga tahun ditetapkan sebagai terpidana. Padahal, UU No 5 tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan pengajuan grasi paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

terungkapnya keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen adalah bagian dari proses penyelidikan dan penyidikan. Mencuatnya nama Antasari Azhar bermula dari pengakuan para tersangka lainnya yang dikuatkan dengan bukti-bukti yang diperoleh penyidik Polri saat itu. Seperti pertemuan Antasari di rumah salah seorang tersangka saat menyerahkan foto calon korban yang dijadikan target pembunuhan. Adanya penyerahan dana untuk membayar eksekutor dan pembelian senjata api.  Bahkan,seorang penyidik mengatakan, kasus pembunuhan itu dipicu setelah Antasari mengeluh dirinya merasa terancam yang disampaikan kepada salah seorang tersangka. Intinya, pembunuhan  tidak akan terjadi, jika Antasari melarang rencana pembunuhan tersebut. Artinya, Antasari sudah mengetahui adanya rencana pembunuhan yang akan dilakukan.



Sejatinya, pemberian Grasi jangan dikemas menjadi informasi yang menyesatkan dengan menyembunyikan maksud dan tujuan serta alasan sesungguhnya pemberian Grasi oleh Presiden kepada Antasari. Agar tidak menimbulkan persepsi bahwa  pengampunan yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Antasari Azhar, dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan koreksi terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan

Grasi adalah kewenangan yang menjadi hak prerogatif  Presiden atau Kepala Negara untuk memberikan pengampunan berupa pengurangan bahkan membebaskan hukuman seseorang yang sudah berkekuatan hukum tetap.  Proses pemberian grasi adalah atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan keadilan,tanpa adanya keterikatan dengan hukum acara tertentu.

Meskipun pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, bahkan menghapuskan hukuman tanpa putusan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan atau menjadi bentuk rehabilitasi seorang terpidana. Karena Grasi adalah permohonan pengampunan yang diajukan seseorang yang telah mengakui kesalahannya. Pemberian Grasi yang menjadi hak prerogatif Presiden atau kepala Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU No 5 tahun 2010.  

Grasi atau pengampunan bukan produk hukum yang terkait dengan persoalan teknis yuridis peradilan.Sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai putusan hakim atau dasar untuk melakukan koreksi terhadap proses penegakan hukum maupun putusan yang sudah dijatuhkan pengadilan. 

Sedangkan upaya untuk melakukan koreksi terhadap proses penegakan hukum hingga peradilan diatur dalam UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara, dalam KUHAP tidak ditemukan adanya keterlibatan dan kewenangan Presiden atau Kepala Negara dalam proses penegakan hukum maupun peradilan. KUHAP menjelaskan hak untuk melakukan koreksi adalah praperadilan,banding,kasasi hingga peninjauan kembali (PK). 

No comments:

Post a Comment